Nasi Goreng yang tak Berjodoh

Neni Triana

Musim Dingin telah tiba, bunga-bunga Kenikir telah layu sepekan lalu. Entah berapa purnama datang dan pergi, namun rindu tak juga berlalu.

“Aku akan mencari waktu yang tepat, untuk meminta izin agar tanggal kepulangan kita sama.”

“Semoga Mas,” balasku pada laki-laki yang setiap malam kutemani makan nasi goreng.

Hatiku berbunga-bunga setiap kali dia berkata seperti itu, rasa lelah pun hilang seketika.

“Mandi dulu sana Mas, bisa-bisanya langsung tertidur begitu.”

“Yang penting sudah makan nasi goreng,” singkat dia menjawab.

“Huh. Tapi, sesekali aku juga ingin kau manja Mas,” dengan ekspresi marah aku menjawab.

“Kalau begitu sini tidur bareng. Cape sekali hari ini, pulang kerja langsung ngerjain tugas. Doakan cepat lulus karena ini semua demi kamu.”

“Halah … gombal, bukan demi Ibu tah Mas?”

“Tadi katanya mau dimanja, sekarang malah bilang gombal, wanita memang selalu benar.”

“Wanita ingin dimengerti Mas,”

“Iya deh, asal jangan sampai suruh milih antara Ibu dan kamu. Karena Mas tak bisa memilih melainkan akan berusaha menjadi pendampingmu dengan restu Ibu.”

“Lagian siapa juga yang suruh memilih. Oh-ya Mas,” belum selesai ucapanku, dia sudah tertidur seperti biasanya.

Begitulah setiap malam aku akan menemaninya makan nasi goreng hingga dia tertidur. Kebiasaan yang tidak membuatku bosan walau hanya dalam video call, meskipun dia terlihat tidak romantis, aku cukup senang dan bersyukur. Selama tujuh tahun kami menjalani hubungan jarak jauh. Empat tahun yang lalu antara Jakarta-Korea, tiga tahun ini antara Taiwan-Korea. Ini tahun ketiga aku berada di tanah Formosa dan tahun kelima dia berada di Korea.

Kumatikan teleponnya. Tadi siang kesabaranku benar-benar diuji, para pasien di Panti Jompo tempat bekerja mendadak rewel semua. Suka-duka, air mata dan tawa memang sudah biasa menemani hari-hariku selain disebabkan rindu juga disebabkan oleh mereka. Apa boleh buat ini pekerjaanku dan ini nasibku.

Januari tiga tahun yang lalu ketika aku akan pergi ke Formosa, air mata merebak di pipi ibu mengantar kepergianku, setahun setelah bapak pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Semenjak itu Januari menjadi bulan yang menyakitkan bagiku, padahal aku berjanji akan membawa bapak ke Jakarta saat nanti wisuda,

“Nduk, kamu sudah di sini saja. Lanjutkan kuliah, insyaAllah Kakak akan berusaha untuk membiayaimu, tapi ingat kamu harus belajar dengan baik.”

Ucapan kakak waktu itu. Membuatku meneteskan air mata. Dari kelas dua SMA aku pindah ke Jakarta dan ikut bersama kakak demi menyelesaikan sekolah, karena bapak hanya seorang petani kecil dan sejak melahirkanku ibu sering sakit-sakitan sehingga biaya untuk berobat ibu lebih penting.  Semenjak itu aku lebih semangat belajar agar tidak mengecewakan kakak sampai akhirnya lulus dengan nilai yang memuaskan dan malam itu kakak juga mengatakan akan terus membiayai kuliahku.

Sebelum lulus SMA aku sempat pulang ke Banyuwangi dan di perjalanan bertemu dengan Yandi, ketika itu bis yang kita tumpangi berhenti untuk istirahat di sebuah restoran kecil. Nasi goreng pedas pesananku tertukar dengan nasi goreng pesanannya, meskipun ada sedikit keributan karena dia tidak suka pedas namun ternyata itu adalah awal pertemanan kita. Seminggu di Banyuwangi kami menjadi teman. Takdir memang tidak diduga, rupanya Yandi juga orang Banyuwangi yang menetap dari kecil di Jakarta bersama kakak perempuannya bahkan tinggal tepat di komplek di mana aku dan keluarga kakak tinggal. Dua tahun Yandi bekerja dan kuliah di Korea, itu sebabnya selama ini aku tidak pernah melihat Yandi di sekitar komplek. Sekarang dia di Indonesia sedang cuti dan ke Banyuwangi sama sepertiku menjenguk ibunya,

Pertemuan demi pertemuan hingga akhirnya kami memutuskan untuk berpacaran, ya .. di balik  keributan karena nasi goreng yang tertukar, kujatuh cinta padanya, pada pandangan pertama pada menit-menit pertama dan ternyata dia pun begitu. Sebulan pun berlalu begitu cepat Yandi harus kembali ke Korea namun setiap tahun dia selalu mengambil cuti pulang, di cuti dia yang kedua kami pun bertunangan.

“Ibu tidak akan melarang kalian, Ibu akan selalu mendukung siapa pun wanita pilihanmu yang penting kelak jika kalian berjodoh harus tinggal bersama Ibu,”

“Jadi bagaimana Nduk, apakah kamu bisa dan apakah kedua orang tuamu nanti setuju?” pertanyaan sebelum kami bertunangan itu terlontar dari Ibu Yandi.

“Tenang saja Bu, keluarga kita dan keluarga Dea kan masih satu Desa,” Yandi dengan cepat membantuku menjawab.

“Meski begitu tetap saja Ibu harus dari awal ngomong. Ibu tidak ingin tinggal lagi sendirian, Dea anak perempuan, wajar kalau dibawa laki-laki .”

“Pasti Bu, kelak kemana pun suami pergi dengan senang hati saya akan ikut. Karena sudah kewajiban saya sebagai perempuan.”

Setahun setelah kami bertunangan, bapak pergi untuk selama-lamanya. Keluarga kami berduka terlebih Ibu sehingga sakitnya semakin parah, akhirnya ibu di bawa untuk tinggal dan berobat di Jakarta, tentu saja ini menambah berat beban kakak, sehingga aku harus berinisiatif dan rela berhenti kuliah demi mencari pekerjaan. Namun untuk mendapatkan pekerjaan tidaklah semudah aku jatuh cinta padaYandi, pada saat sedang kalap seperti itu Yandi pun mengatakan bahwa dia akan menambah kontrak kerjanya sehingga tidak pulang dalam waktu dekat, membuatku semakin frustasi . Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke Taiwan dengan berharap bisa membantu kakak sambil menunggu Yandi pulang.

Kini tiga tahun sudah, kami pun pulang di bulan yang sama. Dua hari di rumah aku menemani Yandi wisuda di Jakarta. Rasanya hari bahagia sudah di pelupuk mata (menjadi pengantinnya). Sebagaimana harapan yang setiap kali kami eja pada butiran nasi goreng di setiap malam, Januari bulan depan kita akan hidup Bersama untuk selamanya.  

“Kamu satu-satunya harapan yang tersisa untuk Ibu Le, Ibu tahu kamu pasti akan terluka, tapi percaya pada Ibu Le, Indah akan tepat untukmu, dari semua perhitungan dia sama sekali tidak cocok untukmu Le, hanya lara dan lara yang akan kalian temui nanti. Ibu tidak mau hidupmu berantakan hanya karena Dea.”

Rasanya aku kembali pada kenangan kelam di Januari waktu bapak meninggalkan kami, waktu kukecup kening ibu ketika akan pergi ke tanah Formosa dengan berat hati. Kebahagiaan yang sampai pagi tadi masih menari-nari tiba-tiba jatuh, gelap dan mati. Seperti padi dan jagung yang siap dipanen tetapi dihancurkan seketika oleh Puting beliung. Aku menjerit dalam hati, wajah ibu yang bercucuran air mata terbayang seketika.

“Dea. Maafkan, kamu pasti sudah mendengar ucapan Ibu barusan,” baru saja aku akan melangkah pergi setelah mendengar percakapan itu, Yandi muncul dan memegang tanganku dengan erat namun kulepas dengan kuat.

Aku pulang dengan rasa sakit di hati, dengan air mata yang tidak habis kuseka. Kunjungan kedua ke rumah Yandi ini berakhir dengan luka dan menerbangkan semua harapan ,menghanguskan ribuan mimpi-mimpi, cerita dan kenangan nasi goreng setiap malam.

Sesampai di rumah bibirku kaku, badan gemetar dan lemas, tak kuhiraukan pertanyaan Ibu dan Kakak yang juga berada di Banyuwangi. Satu jam kemudian Yandi bersama keluarganya datang memutuskan pertunangan yang sudah tujuh tahun kujaga, membatalkan janji dengan alasan bahwa hari, tanggal dan bulan kelahiranku tidak cocok untuk Bersama.

Kenapa tidak ada perhitungan ketika pertunangan? Kenapa membiarkan anak muda seperti kami yang tak mengerti menilai warisan nenek-moyang sangat kejam, kenapa merusak kepercayaan bahwa jodoh itu di tangan Tuhan bukan ditentukan oleh tanggal perhitungan.

“Dea, seperti kamu yang ingin membahagiakan Ibumu. Aku juga begitu, apalagi aku anak laki-laki satu-satunya, meski ini tidak bisa kita mengerti. Maafkan aku, maafkan Ibu yang telah menyakiti hati kalian semua.”

Permintaan maaf Yandi yang teramat menyakitkan perlahan menguatkan hatiku, aku berusaha percaya bahwa ini adalah kehendak dari Tuhan bahwa kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama.