SEPERTI SENGKON YANG TERLUKA

Tari Sasha

Aku seorang petani Bojongsari. Bapakku petani. Kakekku petani. Bahkan nenek moyangku juga seorang petani. Menjadi petani bukanlah impian tapi garis takdir yang diukir di urat nadi. Tak ada anak buyut yang punya keahlian lain selain menggumuli tanah berlumpur untuk menumbuhkan padi. Semisal pun mampu sekolah tinggi-tinggi, takdir itu akan tetap menarikmu menjadi petani. Seperti aku, seperti bapak, kakek dan buyut.

Kakakku pernah merantau ke ibukota. Ia bilang mbabu1 akan jauh lebih baik daripada menjadi petani. Setahun dua tahun kemudian ia pulang ke Bojongsari dengan segenap luka dan penyakit. Ibukota telah menyiksanya dengan kejam. Mimpinya yang hanya menjadi seorang babu tak tersampaikan. Kakakku yang perempuan satu-satunya itu hanya menjadi pemulung di Bantar Gebang lalu pulang kampung dengan badan yang ditumbuhi borok.

Mungkin memang kami ditakdirkan menjadi petani Bojongsari yang menumbuhkan padi saja laksana menanam kangkung di tengah gurun. Bojongsari bukan tanah gemah ripah loh jinawi2. Air sudah sangat sedikit. Mata air mengering dan sumur kosong melompong sejak lama. Menggunakan pompa air sewaan untuk mengalirkan air artinya aku harus menggadaikan buku nikah. Harta terakhir yang aku punya hanya cukup untuk menyewa pompa, belum pupuk yang harus dibeli dengan jaminan harga diri. Apapun harus dilakukan untuk padi yang jika sudah waktunya panen kadang membuatku mengurut dada.

Dahulu sekali sewaktu aku kecil bapakku pernah bercerita tentang kakekku yang sangat terkenal. Dongeng tentang petani Bojongsari yang harus mati di ujung pistol polisi tanpa tahu salahnya apa. Kakekku yang petani itu diambil polisi saat menjelang subuh dan ditemukan mati pada tengah hari.

“Apa salah kakek hingga harus mati dibedil3 polisi?” tanyaku polos dulu.

“Salahnya hanya karena ia seorang petani!” jawab bapak singkat sambil memandang padinya yang diserang wereng.

Sedari kecil hingga kini aku mempertanyakan sebab-musabab matinya Sengkon kakekku yang sangat terkenal. Seorang petani kecil dari Bojongsari yang mati dibedil polisi. Aku kenyang makan dongeng kakekku hingga kuceritakan kembali ke anak-anakku. Harapanku mereka tahu bahwa kakeknya yang seorang petani sangat terkenal dahulu hingga rasa penasaranku pun kuwariskan kepada anak-anakku. Semoga mereka juga mempertanyakan kenapa Sengkon kakek buyutnya mati dibedil polisi. Dan dongeng itu akan menjadi warisan turun temurun di keluarga kami.

Hujan sudah jarang turun di Bojongsari. Air sungai sudah tak bisa diharapkan lagi. Surat nikah masih digadaikan dan gagal kutebus karena gagal panen lalu. Bagaimana aku menyewa mesin pompa air? Bayangan kegagalan panen lalu masih membekas. Anak istriku sudah sangat kurus karena kurang makan. Padi harapan hidup kami satu-satunya pun berkhianat. Di tengah padi yang mulai kering aku meratap. Jika padi adalah harapan hidup kami, apa padi pulalah penyebab kami mati?

Istriku tersenyum. Daster lusuhnya sudah sangat longgar karena ia bertambah kurus. Aku tahu ia berpikir keras untuk mencukupi kebutuhan makan kelima anakku. Dahulu kunikahi ia karena pinggulnya yang besar dan badannya yang gempal. Kata emak perempuan dengan pinggul besar mudah punya anak. Nyata hal itu benar. Istriku memberiku anak tanpa bantuan bidan. Anak pertama lahir di pawon4 saat ia menjerang air. Anak kedua lahir di sumur saat ia menimba air. Anak ketika lahir tanpa ia sadari saat di jamban. Anak keempat lahir di halaman saat ia menjemur baju, dan yang terakhir lahir di sawah saat ia membantuku tandur5.

Semudah itu kelima anakku lahir sebenarnya membuatku sangat bersyukur. Biaya persalinan di bidan menelan biaya jutaan. Uang darimana untuk membayar bidan. Dukun bayi terakhir di Bojongsari telah lama mati sewaktu wabah malaria tanpa sempat menurunkan ilmunya pada anak cucunya. Namun Gusti Allah memberi istriku kekuatan untuk melahirkan gampang. Mungkin hanya satu yang  Gusti Allah lupa mengirim hujan agar padiku bisa tumbuh besar.

Istriku bilang tadi penagih dari koperasi tempat aku menggadaikan buku nikah telah datang. Ia mengatakan mereka akan menyita barang berharga di rumah jika dalam waktu seminggu aku tak sanggup membayar hutang. Apa yang berharga di dalam rumah selain istri dan kelima anakku. Tak ada barang elektronik modern. Tidak tv ataupun radio duaband. Tak ada meja kursi kayu jati, tak ada lemari ataupun dipan. Kami meringkuk di lantai berlapiskan kasur kapuk yang sudah penuh tambalan. Apapun boleh mereka ambil dari dalam rumah.

Tanya menyahut aku menganggukkan kepala tanda setuju untuk mengambil buku nikahku sebelum jatuh tempo seminggu ini. Lalu uang darimana? Pernah terbersit pikiran untuk menjual saja sawah warisan itu. Lalu kami pindah ke ibukota. Toh aku bisa bekerja apa saja, kuli bangunan, pemulung, kuli panggul, kacung6 atau apalah. Akan tetapi setelah melihat keadaan kakak perempuanku niatan itu segera kuurungkan. Kuingat lagi kegagalan kakakku melawan garis takdir kami. Artinya aku harus bertahan dengan kejamnya Bojongsari. Takdir itu yang mengikatku saat ini sampai nanti.

Seminggu bukan waktu yang lama. Aku tahu waktu ini akan datang. Beberapa orang berbadan kekar akan naik motor Honda dan mengedor pintu. Tampang mereka akan sangat kejam dengan urat muka yang bertonjolan menahan emosi. Suara mereka lantang menghardik akan merobohkan rumah kalau tidak sanggup membayar hutang. Istri dan kelima anakku berbaris rapi dengan muka tertunduk. Aku tahu rasa yang mereka kecap sekarang. Ketakutan. Sedangkan aku hanya sanggup diam dengan kedua lutut tertekuk ke tanah. Aku seperti Sengkon kakekku sewaktu hendak dibawa polisi.

Penagih hutang itu meringsek masuk ke rumah dan mencari barang berharga. Ambilah apa saja. Wajan istriku ataupun cobek dan ulekan. Kami benar-benar tak punya barang berharga. Satu-satunya yang berharga dari seseorang yang katanya disebut harga diri juga telah kugadaikan pada juragan pupuk. Tak ada yang tersisa. Kosong seperti isi gentong beras.

“Kau harus segera melunasi hutangmu, Karta!” hardik pria yang berjambang dan berjaket hitam.

“Kalau sudah panen nanti saya akan tebus buku nikah saya.”

Mereka menghardik lebih keras dan berkata telah salah memberi pinjaman pada kere7 yang tak punya apa-apa. Setelah puas menghardik dan mencengkeram krah bajuku mereka pergi. Sederet ancaman yang tertinggal seiiring pandangan mata para tetanggaku yang punya beraneka arti. Ada yang iba pada kami, ada pula yang bersorak. Bukankah demikian hukum tak tertulis dari para tetangga. Kita senang mereka berduka, kita sedih mereka bersorak gembira.

Kupeluk istri dan kelima anakku sambil berkata kita akan baik-baik saja. Walaupun jauh di hatiku aku tahu kami tidak akan baik-baik saja. Panen akan gagal lagi karena padiku tak mungkin tumbuh tanpa air.

“Kakekmu mati karena ia seorang petani. Mungkin kita juga akan mati karena kita seorang petani.” Demikian pesan bapak dalam setiap menceritakan Sengkon kakekku. Mungkin juga aku akan segera mati seperti Sengkon tapi tidak karena dibedil polisi. Aku akan mati seperti padiku yang kelaparan.

Bayangan padiku layu itu segera kutepis. Aku lari ke sawah meninggalkan istri dan kelima anakku yang masih bertangis-tangisan. Aku tidak boleh mati seperti Sengkon atau padi-padi itu. Aku harus hidup untuk orang-orang yang kucintai. Dan sejak itu hidupku adalah mencumbui padi-padiku. Kusayangi mereka yang sekarat agar bertahan. Segenap tenaga kucoba mencangkul membuat aliran air. Padi-padi ini harus hidup agar kami sekeluarga juga hidup. Kau mati maka kami mati.

 

Akulah Sengkon yang sakit

Berusaha mengenang setiap luka

Di dada

Di punggung

Di kaki

Di batuk …

Yang berlapis tuberkulosis8

Aku tumbang seperti Sengkon kakekku. Batukku kian keras dan tubuh ringkihku harus terguncang-guncang. Aku hanya menunggu kapan bedil Tuhan menembakku, lalu aku berpulang menjumpai leluhurku di keabadian Bojongsari. Sawah sudah berpindah tangan. Sisa uang melunasi hutang-hutang kurasa cukup untuk bekal istri dan anak-anakku bertahan selama beberapa bulan. Walaupun aku sudah bukan petani karena kehormatanku atas sawah tercinta telah hilang, tetapi dengan lantang kukatakan bahwa aku tetap petani sejati dari Bojongsari.

 


Catatan:

1.Mbabu : menjadi pembantu, babu,

2.Gemah ripah loh jinawi: subur makmur.

3.Dibedil: ditembak oleh senjata api.

4.Pawon : dapur.

5.Tandur : menanam padi.

6.Kacung : pesuruh atau pelayan.

7.Kere : miskin.

8.Penggalan puisi Mata Luka Sengkon Karta karya Peri Sandi Huizche


Tari Sasha

Berasal dari jawa, Indonesia, 38 Tahun, datang ke Taiwan 7 tahun, bekerja di panti jumbo di Chiayi, dan sudah kembali ke Indonesia. Suka menulis dan membaca, mendapat gelar sarjana S1 jurusan komunikasi di Universitas Terbuka Di Taiwan. Telah terpilih mendatkan penghargaan terbaik dari penghargaan sastra pekerja migran ke-3, penghargaan juri penghargaan sastra yang ke-7, penghargaan mahakarya sastra pekerja imigran piala Gao Yuan 2020. Tema karyanya beragam, termasuk kehidupan pekerja imigran di perantauan dan takhayulnya kampung halaman di Indonesia, Bahasa tulisan yang beragam, sehingga dapat diterima dengan baik oleh juri di Taiwan.