Wanita itu membelai lembut rambut bayi yang terlelap di pangkuannya. Lisa, namanya. Dia adalah istri sekaligus ibu bagi Adam, putraku. Aku menikahinya setahun yang lalu. Melalui sebuah perjanjian, yang bahkan menentang hati nuraniku sendiri sebagai suami. Melihat kedekatan ibu dan anak itu, bagaimana mungkin aku tega memisahkan keduanya, hanya demi memuaskan keegoisan Mona dan keluarganya? Tidak! Aku tak akan pernah mau berpisah lagi dengan kekasihku. Cukup sudah selama ini aku menjadi pecundang yang tak bisa membantah apa pun keinginan Mona dan keluarganya. Ini saatnya aku harus memperjuangkan cinta dan kebahagiaan keluarga yang kusayangi.
***
“Semuanya sudah kupersiapkan, surat ini hanya butuh tanda tangan Lisa. Sesegera mungkin kau harus menceraikannya, dan membawa Adam untuk menjadi bagian dari keluarga Jayadiningrat. Ia harus menepati janjinya,” terang Mona dengan angkuhnya.
Seakan segalanya bisa ia dapatkan dengan kekayaan dan kekuasaan keluarga besarnya.
“Adam masih terlalu kecil, dia juga butuh asi. Bagaimana jika kita mengizinkan Lisa untuk mengasihinya hingga dua tahun? Agar tumbuh kembang Adam tak terganggu,” ujarku bernegosiasi.
“Apa, Mas? Itu memang keinginanmu kan, agar kau tetap bisa bersama Lisa selama itu. Ingat, Mas! Tanpa aku dan keluargaku, kau dan keluargamu tak akan bisa menikmati kehidupan mewah seperti saat ini. Jadi, sudah seharusnya kau menuruti apa mauku. Atau papa akan mengambil tindakan!” ancamnya lagi dan lagi.
Ini yang membuatku sangat muak, hidup seatap dengan Mona. Wanita arogan itu tak pernah sekalipun menganggapku ini suaminya. Aku dianggap hanyalah boneka, yang bisa ia mainkan sesuka hatinya. Pernikahan mewah, hidup hedonis, dan selalu tampil mesra di publik, itu hanyalah sandiwara. Pernikahan balas budi, karena Pak Jayadiningrat dulu telah menyelamatkan nyawa kedua orang tuaku. Lalu, seenaknya mereka menekan kami. Selalu mengungkit apa pun yang mereka berikan pada kami selama ini.
“Mona, bukankah akan lebih baik jika kita berpisah? Kita jalani kehidupan masing-masing. Kau cantik, muda dan berpendidikan. Pria mana pun pasti tertarik untuk menjadi pendampingmu. Seperti yang papamu katakan itu. Kolega dan rekan bisnis papa jauh lebih baik dan menjanjikan kebahagiaan untukmu,” ucapku penuh penekanan.
“Selama tujuh tahun pernikahan ini, apakah kau merasakan kebahagiaan? Tidak, bukan? Lalu untuk apa kita terus bersandiwara dan berpura-pura di depan semuanya? Pernikahan itu untuk mencari rasa nyaman, saling melengkapi dan mencintai setulus hati. Tapi kita? Apa kau tak lelah, Mona,” ujarku sambil menatap lekat mata coklatnya.
“Mas, kau tahu apa alasannya bukan? Aku tak mau berpisah denganmu, aku mencintaimu, Mas. Aku ingin kita menua bersama, merawat anak-anak kita berdua. Tapi, aku ··· ,” isakan keluar dari bibir ranumnya.
Kupeluk tubuh rampingnya dan makin menjadi tangisnya dalam pelukku. Hatiku pun sakit, tak tega melihatnya terguncang. Tetapi aku pun tak boleh egois. Lisa juga istriku, ibu dari anakku. Bahkan Lisa lah yang lebih berhak atas Adam, daripada Mona. Takdir seakan mempermainkan kehidupan kami. Lingkaran pernikahan poligami. Antara ego, cinta dan pengorbanan. Aku tahu Mona tak sepenuhnya salah. Ia nampak egois dan tak mau kalah, tak lain untuk menutupi sisi lain hidupnya yang rapuh. Mona divonis mandul oleh dokter, sehingga ia tak akan mungkin bisa memiliki anak. Dan karena itu pula lah ia mengizinkanku menikah lagi, tetapi dengan syarat yang merugikan dan tak masuk akal itu.
“Aku menyayangimu, Mas. Tak ingin kehilanganmu. Aku ingin merawat Adam, tetapi hatiku tak sanggup jika cintamu terbagi untuk wanita lain. Aku tak sanggup melihatmu bermesraan dengan Lisa. Hatiku sakit, Mas,” ucapnya sendu.
“Mona, bisakah engkau berdamai dengan hatimu dan keadaan ini. Jujur, selama ini aku pun lelah. Terkungkung dengan pernikahan yang kau dan keluargamu anggap hanya sebagai balas budi. Aku kalian jadikan boneka, yang bisa kalian permainkan. Aku muak, Mona. Mungkin ini jalan terbaik untuk kita, mari kita akhiri secara baik-baik. Aku akan bicara pada papa. Hutang keluargaku akan kubayar perlahan. Pasti akan kulunasi, Apa pun boleh kalian ambil, tapi biarkan aku menjalani hidup bersama pilihanku,” ujarku mantap.
Keputusanku kali ini sudah bulat. Segala risiko akan kutanggung. Kutinggalkan Mona yang masih terisak, dan berlalu untuk menghadapi kemarahan papa mertuaku.
***
Kicau burung menyemaraki pagi yang cerah. Celoteh riang Adam yang kugendong kian menghangatkan pagi. Di dapur sederhana, Lisa sedang memasak sarapan.
“Dek, aku bawa Adam berjalan-jalan menengok sawah kita ya. Sekalian menghirup udara segar desa,” pamitku pada istriku.
“Iya, tetapi jangan terlalu lama. Saat sarapan kalian harus sudah pulang ya,” jawab Lisa dari dapur.
Aku lalu beranjak melewati jalan setapak, menikmati pemandangan menyejukkan mata. Sesekali berpapasan dengan tetangga yang juga akan ke sawah. Adam, putraku yang telah berusia delapan bulan kian aktif dan menggemaskan. Tak sedikit orang yang berpapasan dengan kami, selalu gemas dengan tingkah dan celotehnya.
Menyusuri sawah yang telah menghijau akan tanaman padi, pikiranku melayang akan peristiwa tujuh bulan silam. Di mana keputusanku untuk meninggalkan rumah mewah dan membawa Lisa serta Adam pindah ke kampung ini adalah satu hal yang tepat.
Pak Jayadiningrat marah besar ketika kuutarakan niat untuk menceraikan putri kesayangannya. Ia lalu mengungkit-ungkit segala biaya yang telah ia keluarkan untuk pengobatan ayahku dan yang lainnya. Memaki serta menginjak-injak harga diriku sebagai seorang lelaki. Bahkan sampai menekan kedua orang tuaku. Ayah yang mendapat tekanan, akhirnya kembali ambruk. Komplikasi jantung dan paru-paru, membuat ayah tak tahan dan beliau menghembuskan napas terakhir.
Keputusanku semakin bulat untuk pergi dari kehidupan mereka. Kubawa serta Ibu dan kedua adik-adikku secara diam-diam. Menghindari ancaman Pak Jayadiningrat. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke pulau seberang, yang kurasa aman. Dan di sinilah kami akhirnya memutuskan untuk tinggal. Dengan tabungan yang kupunya, aku menyewa sebuah rumah dan sepetak kebun dan sawah untuk bertani. Sedangkan Ibu dan Lisa mengelola warung sembako kecil-kecilan dari modal yang ada. Kedua adikku pun juga ikut membantu.
Aku pulang ke rumah dan disambut hangat oleh istriku. Lalu kami pun sarapan pagi bersama ibu dan adik-adikku juga. Di rumah mungil ini pula, tercipta banyak canda dan tawa. Aku merasa kembali menemukan kehangatan keluarga, setelah sekian lama hidup terkekang dalam belenggu intimidasi. Aku bersyukur sekali Tuhan hadirkan Lisa di hidupku yang hampir pupus. Lisa dan Adam membangkitkan semangatku untuk bangkit kembali. Cinta dan kasih yang kami bina kian erat bak pulut padi.
***
Musim panen tiba, aku telah berkutat di sawah sedari pagi. Bekal yang Lisa bawakan begitu nikmat terasa kala kusantap di tengah hamparan padi yang telah dipanen. Aku dan beberapa pekerja yang merupakan tetangga, bercengkerama dan tertawa dengan candaan recehan. Saat sedang menikmati santapan, adikku lari tergopoh-gopoh mendekatiku.
“Mas, lekas pulang. Ada Mbak Mona dan keluarganya datang,” ucapnya memberitahu.
Aku terkejut, segera bergegas untuk pulang. Tak menyangka pelarian kami ketemu juga oleh mereka. Aku takut akan keselamatan istri, ibu dan anakku.
Sampai di halaman, kulihat mobil mewah terparkir di sana. Dari dalam terdengar tangis Adam dan riuh orang berbicara. Aku makin kalut, dan kian terperanjat kala kulihat Lisa dan Mona sedang berusaha menenangkan Adam.
“Mas,” Lisa menyapa dan Mona menyapaku bersamaan, dengan senyum di bibir keduanya.
Di sampingnya ada ibu dan kedua mertuaku yang juga nampak ramah dan tersenyum padaku. Dalam kebingungan tanganku diraih Mona, dan diajak duduk di sampingnya.
“Kenapa menghilang begitu saja? Tak tahukan kau Mas, aku merindukan kalian semua. Sangat sulit kucari jejak kalian. Hingga akhirnya seseorang memberitahuku bahwa kalian di sini. Lalu kami segera kemari. Maafkan aku, Mas,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Kami juga meminta maaf kepadamu, Lukman. Kami telah banyak salah pada kalian semua. Kuharap kalian mau memaafkan kami semua,” ucap Pak Jaya tulus.
Setelahnya kami pun bercengkerama dan berbagi cerita. Hingga akhirnya Mona menyatakan bahwa ia tak ingin bercerai, mau dimadu dan ingin merawat Adam bersama-sama. Kulihat Lisa, ia pun tersenyum tulus dan mengangguk sebagai tanda menyetujui jika aku tetap berpoligami.
Kedua wanita itu menatapku penuh cinta, berharap aku mau menerima keduanya. Menuruti hati aku pasti sangat bahagia, tetapi apakah aku bisa adil dalam membagi segalanya? Ah, biarlah itu nanti saja. Sekarang aku sangat bersyukur menikmati kebahagiaan ini. Cinta segitiga ini kian lekat bak padi pulut, yang kami santap bersama dengan penuh syukur bahagia.
Evi Agustika
Berasal dari Sumatera, Indonesia, 32 tahun, di Taiwan selama 8 tahun, bisa bekerja sebagai perawat di Taichung, dan sekarang sudah kembali ke Indonesia. Menjadi presiden ke 2 KPK sebuah komunitas penulis pekerja migran Indonesia, Di anugrahi : Terpilih mendapatkan penghargaan sastra pekerja imigran 2015, 2015 [Taipei Tolong Dengarkan Aku] lomba karya puisi untuk pekerja asing, penghargaan mahakarya sastra pekerja imigran piala Gao Yuan 2020. Selain kompetisi sastra, dia juga akan menerbitkan novel diaplikasi KBM, novel {Cinta yang Tercemar} telah direalisasikan di platform sebanyak 30 episode.